• Gisa FM News

    Senin, 25 Desember 2017

    Radio Komunitas Aceh

    Tiga tahun setelah tsunami, suasana rehabilitasi dan rekonstruksi lambat laun mengubah daerah-daerah hancur di Aceh menjadi daerah dengan bangunan fisik yang baru pula. Di sana-sini ditempat yang dulu hancur telah berdiri bangunan rumah-rumah baru, sekolah dan fasilitas publik lainnya. Seiring dengan masa rehabilitasi dan rekonstruksi ini pula, tidak hanya bangunan fisik yang menjadi fokus perhatian lembaga donor di Aceh tetapi juga bidang pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan radio komunitas.

    Bencana tsunami yang menyisakan derita panjang telah menjadi momentum yang tepat dalam mengembangkan media informasi warga yang berbasis komunitas. Beberapa hari setelah tsunami warga kehilangan arah dalam mendapatkan informasi karena akses terhadap media massa didaerah terkena bencana terputus. Ketika itu beban psikologis begitu berat. Mereka tidak hanya kehilangan harta benda tetapi juga kehilangan keluarga dan orang-orang yang mereka cintai. Oleh sebab itu peran media massa terutama keberadaan radio komunitas dalam membuka isolasi informasi sangat strategis di Aceh pasca tsunami.

    Satu hal yang perlu dicatat bahwa momentum tsunami menjadi awal kemunculan radio komunitas di Aceh. Sebelumnya sama sekali belum pernah terdengar, yang ada hanya radio siaran swasta yang dikelola secara komersial[1]. Di sisi lain, dalam membuka insolasi infomasi pasca tsunami menjadi prioritas untuk memandu dan mendeteksi kemana bantuan ditujukan dan kebijakan publik apa yang mendesak dibutuhkan. Ketimpangan penyaluran bantuan tidak sebanding dengan jumlah bantuan yang datang. Sementara itu barak-barak pengungsian terus bermunculan tanpa pendataan yang akurat. Oleh karena itu peran radio komunitas sebagai media informasi dan komunikasi dimasa tanggap darurat sangat dibutuhkan keberadaannya[2].

    Mengapa radio komunitas? karena media penyiaran yang satu ini sebagai salah satu langkah konkret dalam mengimplementasikan tanggap darurat terutama dalam membuka isolasi informasi. Maka ketika itu hadirlah radio komunitas pertama Suara Muhamadiyah di Banda Aceh yang diprakarsai Pengurus Pusat Muhamadiyah dan Kantor Berita Radio 68H Jakarta. Agar memudahkan pengungsi tsunami mendengar radio komunitas Suara Muhamadiyah, diputuskan pemasangan loudspeaker radio di barak-barak pengungsian[3].

    Peran Semua Pihak
    Membangun kembali Aceh memang bukan pekerjaan mudah. Segalanya harus ada perencanaan dan pemantauan yang jelas dan berkesinambungan agar semua proses pemulihan dapat berjalan dengan optimal sehingga dirasakan oleh seluruh masyarakat Aceh. Untuk mendukung semua itu diperlukan suatu sistem jaringan informasi yang akan menjadi media untuk mendukung proses pemulihan Aceh. Dengan melibatkan masyarakat sebagai bagian dari membangun Aceh, terutama dalam memberdayakan partisipasi masyarakat maka peran radio komunitas cukup strategis.

    Seiring dengan proses pemulihan pasca tsunami, radio komunitas di Aceh mulai menunjukkan eksistensinya dalam memberikan dan menyediakan informasi kepada masyarakat. Pengalaman dalam masa tanggap darurat, dimana suara masyarakat korban tsunami kurang mendapat perhatian. Seharusnya suara korban tsunami dapat tersalurkan sehingga terbangun dialog dan komunikasi yang lebih baik dengan lembaga-lembaga penyedia bantuan. Untuk menjawab persoalan ketersediaan jaringan informasi dan komunikasi, lalu diupayakan melalui media radio komunitas.

    Peluang ini dimanfaatkan dan kemudian difasilitasi oleh Combine Resource Institution (CRI)[4] Yogjakarta yang ikut hadir pasca tsunami dalam membantu pemulihan Aceh. Lembaga ini sepenuhnya didukung Japan Social Development Fund (JSDF), dimana dananya diperoleh melalui Bank Dunia. Oleh CRI dana ini dikelola untuk memfasilitasi pengembangan media komunikasi berbasis komunitas, terutama radio komunitas di seluruh Indonesia (tentunya termasuk Aceh)

    Untuk mematangkan pendirian radio komunitas pada masa tanggap darurat, CRI merancangnya dalam program Atjeh Emergency Radio Network (AERnet). Dalam program ini berhasil didirikan 5 radio komunitas, yaitu Swara Meulaboh FM di Meulaboh Kabupaten Aceh Barat, Suara Sinabang FM di Sinabang Kabupaten Simeulue, Seha FM di Jantho Kabupaten Aceh Besar, Al Jumhur FM di Simpang Mamplam Kabupaten Bireuen dan Samudera FM di Geudong Kabupaten Aceh Utara[5].

    Kehadiran dan keberadaan Radio komunitas di lima wilayah Aceh tersebut telah membawa angin segar dan perubahan yang berarti pada masyarakat Aceh, khususnya masyarakat di wilayah radio komunitas itu berdiri. Namun sayang, dari lima radio komunitas yang didirikan dalam program AERnet ini, hanya radio Seha FM dan Swara Meulaboh FM yang kini tidak mengudara lagi karena persoalan perijinan dan kemampuan manajerial.

    Program ARRnet
    Selanjutnya setelah pendirian tahap awal radio komunitas di lima wilayah tadi dianggap berhasil. Pada tahapan berikutnya dimasa rehabilitasi dan rekonstruksi, CRI kembali memfokuskan pengembangan media penyiaran radio komunitas diwilayah lain di Aceh. Program ini dinamai Aceh-Nias Reconstruction Radio Network (ARRnet). Program ARRNet ini untuk memfasilitasi terjadinya komunikasi dua arah antara kelompok komunitas penerima manfaat program rekonstruksi dan rehabilitasi dengan pelaksana program tersebut. Sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan efektivitas program bantuan tersebut. Adapaun wilayah diprioritaskan di daerah Aceh dan Pulau Nias (Sumatera Utara), baik yang terkena dampak langsung ataupun dampak tidak langsung dari musibah gempa dan tsunami. Di wilayah Aceh sampai penghujung tahun 2007 telah lahir kurang lebih 30 lembaga penyiaran radio komunitas[6].

    Radio komunitas di Aceh saat ini berkembang dengan kondisi dan dinamika yang berbeda sesuai dengan karakteristik, budaya dan adat kebiasaan setempat. Sebagain besar radio komunitas berada di gampông[7]yang terkena tsunami. Sehingga karakterisktik radio komunitas di Aceh dapat dikatakan sebagai radio komunitas berbasis gampông. Dalam perkembangnnya, beberapa radio komunitas juga dapat ditemui di daerah yang tidak terkena tsunami. Hal ini dapat dimaklumi karena keberadaan radio komunitas di Aceh sebagai bagian dari proses rehabilitasi dan rekonstruksi.

    Ada beberapa fenomena menarik yang menghiasi keberadaan radio komunitas di Aceh. Diantaranya tentang partisipasi dan keterlibatan warga dalam mengelola radio komunitas yang cukup menggembirakan. Dengan radio komunitas warga gampông dapat mengaktualisasi diri lewat paket acara budaya dan saluran syiar Islam. Kegiatan monitoring bantuan menjadi salah satu upaya dilakukan radio komunitas yang kemudian dikemas menjadi paket informasi yang disiarkan kepada pendengarnya. Dalam hal yang paling sederhana misalnya, kini interaksi antara sesama warga gampông untuk mengurus kepentingan komunitasnya tidak hanya disampaikan melalui pengeras suara di meunasah[8] atau mesjid, tapi telah beralih melalui sarana informasi media radio komunitas.

    Tantangan
    Legalisasi radio komunitas sebagai lembaga penyiaran tertuang dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Di Indonesia radio komunitas mulai menggeliat diawal tahun 2000 dan kini keberadaannya sudah semakin banyak. Khusus di Aceh, keberadaan radio komunitas baru muncul setelah terjadi gempa dan tsunami. Kelahiran radio komunitas di Aceh tidak terlepas dari peran lembaga pemberi bantuan setelah melihat lemahnya koordinasi dibidang komunikasi dan informasi untuk membantu korban.


    Problem mendasar lembaga penyiaran komunitas di Aceh seperti layaknya di Indonesia pada umumnya karena basis eksistensinya bukanlah masyarakat yang relatif maju dengan kesadaran media yang sudah terbentuk. Bukan pula masyarakat yang sadar benar akan hak-haknya sebagai warga negara dan sebagai bagian dari publik. Melainkan masyarakat yang sehari-hari disibukkan dengan orientasi untuk mempertahankan hidup. Masyarakat yang secara ekonomi, sosiologis dan politik belum sepenuhnya terentaskan. Menurut Agus Sudibyo (2004), pada titik ini pemberdayaan radio komunitas pada akhirnya sangat tergantung pada dinamika ekonomi politik masyarakat sendiri dan sejauhmana keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan terhadap mereka.

    Secara khusus pada pertengahan bulan Pebruari 2008, penulis berkesempatan melihat langsung beberapa radio komunitas di Aceh, terutama yang berada di Kabupatan Aceh Besar, seperti radio komunitas Krueng Raya 107.8 FM, radio komunitas Ukhuwah 107.9 FM, radio komunitas Darsa 107.7 FM dan radio komunitas Sukma 107.7 FM. Dari hasil amatan tersebut terlihat kegamangan pengelola radio komunitas dalam hal manajemen siaran. Hal lainnya yang paling mencolok bahwa radio komunitas ini masih sangat tergantung dengan ARRnet yang notabene hanya berada di Aceh bersifat temporer. Peran ARRnet cukup besar karena memberikan peralatan, instalasi, pengurusan perijinan sampai pemberian pelatihan manajemen siaran radio komunitas.

    Radio-radio komunitas tersebut, bila mengudara masih mengikuti gaya radio swasta yang komersil dan ngepop. Penyiar dan pengelola didominasi kaum muda dan masih kurang optimal partisipasi warga secara keseluruhan, layaknya sebuah radio komunitas yang ideal. Sulit membanyangkan masa depan radio komunitas di Aceh bila program ARRnet selesai dilaksanakan. Oleh karena itu perlu dipikirkan bersama agar radio komunitas yang didirikan oleh Combine Resource Institution melalui program ARRnet tidak sia-sia belaka. Salah satunya dengan membuat pertemuan bersama antar radio komunitas seluruh Aceh untuk membentuk Jaringan Radio Komunitas Aceh (JRKA). Bila JRKA sudah terbentuk setidaknya problematika radio komunitas akan mudah dibenahi.

    Harapan
    Sejak kehadiran radio komunitas di Aceh, media ini terbukti dapat menjadi sarana dalam pelestarian budaya lokal. Sehingga tidaklah berlebihan apabila radio komunitas ini dapat menunjukkan eksistensinya sebagai media informasi dan hiburan komunitas. Dimana disesuaikan dengan karakeristik masyarakat Aceh yang Islami. Disamping itu dapat juga menonjolkan program-program budaya dengan mengangkat nilai-nilai kearifan lokal yang disusun dan dirancang berdasarkan partisipasi kelompok-kelompok kesenian dan pengajian dalam siaran radio komunitas.

    Saat ini dalam konteks perhentian permusuhan setelah penandatanganan MOU RI-GAM di Helsinki tahun 2005, diharapkan radio komunitas juga dapat berperan sebagai media monitoring dan media komunitas akar rumput dalam mensosialiasikan reintegrasi sehingga memperoleh perdamaian yang hakiki di tanah rencong, bumi serambi mekkah.


    Catatan Kaki :
    [1] Wawancara tgl 20 Nopember 2007 dengan Dicky Suherli, Direktur radio TOSS FM Banda Aceh, tsunami 26 Desember 2004 juga ikut menghantam radio swasta di Aceh. Khusus di Banda Aceh ada lima radio swasta yang kena tsunami yaitu Flamboyan FM, Nikoya FM, Kontiki FM, CDBS FM dan TOSS FM. Selain itu RRI Banda Aceh juga ikut terkena tsunami dan hampir satu bulan tidak mengudara.
    [2] Lihat Afrizal. Alunan Nazam di Radio Komunitas Samudera FM. Editor Nasir, Akhmad, dkk. Media Rakyat Mengorgaisasikan Diri Melalui Informasi. Yogjakarta: Combine Resourse Institution, 2007.
    [3] Bimo Nugroho.Hidupkan ‘Udara Mati’ di Aceh. Kompas, 5 Pebruari 2005.
    [4] Lihat situs http://www.combine.or.id
    [5] Dikutip dari tulisan Afrizal. Radio Komunitas; Pelipur Lara Rakyat Serambi Mekkah. Di link website http://www.arrnet.or.id/default.asp?cid=42&code=2&id=358
    [6] Lihat profile ARRNet di link website http://www.arrnet.or.id/default.asp?cid=42&code=2&id=655
    [7] Gampông adalah sebutan Desa dalam bahasa Aceh.
    [8] Dalam budaya masyarakat Aceh, peran meunasah (mushalla) sebagai balai informasi gampông begitu khas. Di meunasah selain sebagai tempat ibadah dan syiar Islam juga digunakan sebagai tempat bermusyarawah, diskusi serta kegiatan lainnya bagi kepentingan warga gampông setempat.




    >
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 blogger-facebook:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Radio Komunitas Aceh Rating: 5 Reviewed By: gisafm
    Scroll to Top